Detail Cantuman
Advanced SearchText
WITH YOU
erjanji pada diri sendiri buat nggak ngelakuin sesuatu yang bikin kita seneng adalah kesalahan besar dan menyakitkan. Apa pun yang gue suka silakan lakuin dengan syarat tahu risikonya. Kalau mampu ngatasin risiko itu, ya lakuin. Kalau nggak, ya jangan. (hlm. 171)
Kalau lo mikir kreatif atau mungkin sedikit nakal pakai tanda kutip, lo pasti bisa nikmatin hidup lo tanpa tekanan dari pihak manapun. Lo harus kejar cita-cita lo karena itu yang bikin lo seneng. Tapi, jangan lupa juga buat penuhin keinginan orangtua lo karena lo sampai gede gini gara-gara diurus orangtua. Kalau lo nggak mau penuhin keinginan itu, lo harus bayar mereka mulai dari lo dalam kandungan sampai detik lo pakai baju yang dibeliin mereka. (hlm. 173)
Dewa, Agha, dan Zara adalah tiga orang anak SMA kelas tiga yang sudah bersahabat sejak kecil karena tempat tinggal mereka berdekatan. Rumah Dewa berseberangan dengan Rumah Agha, sedangkan rumah Zara bersebelahan dengan rumah Agha. Selain itu, keluarga mereka juga saling bersahabat semenjak tinggal di Kompleks Mutiara Indah. Sedari kecil hingga sekarang, mereka disekolahkan di tempat yang sama dengan alasan agar keluarganya dapat saling mengontrol perkembangan anak-anaknya.
Zara bukan termasuk murid bodoh. Ia hanya memiliki short memory. Sesuatu yang pernah ia ingat hanya akan bertahan dalam waktu sekejap, seperti figuran-figuran sinetron yang tugasnya hanya menjadi penonton tokoh utama berkelahi. Tapi, akan dengan sigap dan tanggap saat seseorang menyebutkan nomor ponselnya. Ia benar-benar mengingatnya dengan jelas, meskipun setelah itu ingatan itu hilang. Jadi, saat akan menghadapi ujian, Zara akan mati-matian belajar semalam suntuk demi mengingat pelajaran untuk ujian.
Meskipun short memory-nya menjadi salah satu kekurangan, Zara memiliki skill tinggi pada seni, mulai dari seni hingga seni rupa. Bahasa Inggris dan Jepang sudah mencapai level aktif. Sedangkan, bahasa Prancis ada di posisi pasif karena masih dalam tahap belajar. Selain itu, ia juga suka dengan seni sastra. Jadi, ia sangat berguna saat pembuatan laporan dan gambar-gambar yang nantinya harus ada saat persentasi dilakukan.
Dewa adalah seseorang yang tak pernah patah semangat dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Ia memiliki sifat kuat, meskipun tak sekuat Ade Rai. Dengan tubuh kuat, Dewa tak akan mengeluh jika harus mengangkat barang-barang berat berkotor-kotor ria dengan oli dan tanah. ‘Nggak kotor bukan cowok’, itu slogannya selama ini. Matematika adalah hal sulit bagi Dewa. Rumus yang begitu mudah dioperasikan menjadi sesuatu yang berat bagi Dewa. Pelajaran-pelajaran itu tak seperti materai yang jika dijilat saja lagsung menempel di kertas. Otaknya seperti enggan menerima tempelan pelajaran-pelajaran sekolah. Namun, jika sudah mengerti, Dewa akan selalu mengingatnya sepanjang masa seperti kasih ibu.
Lain pula dengan Agha. Dia mampu merencanakan sesuatu dengan sangat baik dan teratur mulai dari awal hingga akhir. Agha bagaikan seorang Master Chef yang tahu hal-hal yang harus dilakukan untuk membuat suatu hidangan menarik saat disajikan dan lezat saat dicicipi. Maka, tak berlebihan jika Dewa dan Zara mengangga Agha sebagai seorang konseptor anadal. Ia akan memaparkan konsep dengan gamblang dan rinci, sehingga siapa pun dapat mengerjakan konsep itu tanpa banyak tanya.
Agha pun menyadari keberadaannya menjadi pelengkap kedua sahabatnya. Begitu juga sebaliknya. Konsepnya hanya akan menjadi istimewa pada konsep saja karena ia tahu sering merasa kesulitan dalam menggambar dan membuat konsep itu menjadi nyata. Ia berpikir bahwa jika dalam satu kalimat; ia, Dewa, dan Zara bisa disebut sebagai satu titik dua koma. Agha berada di koma pertama, Dewa ada di posisi koma kedua, dan Zara mengakhirinya dengan titik.
“Gue tuh kayak nggak didukung sama keluarganya sendiri. Maksudnya, apa yang gue lakuin tuh di mata mereka nggak pernah berarti. Malah kayaknya mereka nggak pernah percaya gue bisa ngelakuin sesuatu. Gue setuju masuk sekolah ini karena emang gue pengen dapet bimbingan khusus soal masa depan kayak visi misi sekolah ini. Jujur, iya. Gue sebenernya pengen jadi dokter. Tapi, gue nggak berani bilang gitu karena enggak ada yang percaya kalau gue bisa.” (hlm. 56)
“Selama ini, gue cuma jadi robot yang selalu bilang iya ke bokap. Gue nggak leluasa di rumah sendiri. Lo tahu, lah, meskipun udah lama, tapi gue masih belum bisa nerima tante Mira jadi nyokap gue. Posisi gue semakin tersisihkan setelah ada mereka. Porsi gue buat dapet perhatian dan ngobrol sama bokap kurang. Yang ada cuma perintah dari bokap biar gue gini atau gitu.” (hlm. 58)
“Kamu nggak usah ngomong-ngomong tentang hak karena kamu nggak berhak buat milih apa pun di rumah ini! Kamu juga harus belajar sesuai keinginan Papi!” (hlm. 73)
Agha, Dewa dan Zara. Mereka memiliki problem yang sama; passion. Seperti yang dialami remaja pada umumnya setelah lulus kuliah, bingung menentukan jurusan yang mereka pilih. Sebenarnya masing-masing mempunyai pilihan impian sesuai bakat masing-masing. Sayangnya, semua orangtua mereka tidak ada yang mendukung pilihan mereka. Ini kerap terjadi yang sering dialami oleh para remaja. Mereka terlalu dituntut untuk menjadi ini dan itu. Saya sering melihatnya dalam kehidupan nyata. Banyak sekali murid yang ingin kuliah sesuai bidang dan bakatnya tapi tidak disetujui orang tua. Alasan klasik; masa depan suram, mau jadi apa, nanti makan apa. Padahal semua bidang itu selalu bermanfaat. Alhamdulillah, saya memiliki orangtua yang tidak memaksakan kehendak. Dari kecil saya cinta dengan buku-buku, akhirnya memilih jurusan yang bisa dikatakan aneh; Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Lulus kuliah memilih menjadi mahluk langka berlabel pustakawan, sebuah pekerjaan yang kerap dipandang sebelah mata dan terlihat aneh. Tapi saya menikmatinya. Bekerja itu passion, bukan fashion. Begitu pula dengan adik saya, yang laki memilih Jurusan Ilmu Komputer karena hobi banget nge-desain sesuatu dan lumayan meski masih kuliah sudah bisa cari duit sendiri hasil dari desain-desainnya itu; kaos, topi, sweater, dll. Begitu pula dengan adik yang perempuan tapi tomboy akut; memilih kuliah jurusan Pendidikan Olahraga karena dia hobi banget softball dan sekarang meski masih kuliah semester tiga, sudah menjadi pelatih di tim sekolahnya saat SMA. Beruntung kami punya orangtua tua yang tidak mendikte anaknya sesuai kehendak mereka. Di daerah saya, umumnya orangtua masih berpikiran sempit; yang bisa hidup cuma yang kuliah kesehatan dan keguruan. Hello…di luaran sana banyak sekali bidang yang bisa digali…
Ketersediaan
| 767/14 | 899.2213 KAN wy | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
Informasi Detil
| Judul Seri |
-
|
|---|---|
| No. Panggil |
899.2213 KAN wy
|
| Penerbit | PING : Jakarta., 2014 |
| Deskripsi Fisik |
380 cm.; 15 x 21 cm.
|
| Bahasa |
Bahasa Indonesia
|
| ISBN/ISSN |
9786022553793
|
| Klasifikasi |
890
|
| Tipe Isi |
-
|
| Tipe Media |
-
|
|---|---|
| Tipe Pembawa |
-
|
| Edisi |
-
|
| Subyek | |
| Info Detil Spesifik |
-
|
| Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain






