Detail Cantuman
Advanced SearchText
SATRIO PININGIT: MENANTI SOSOK RATU ADIL MENUJU ZAMAN KEEMASAN NUSANTARA
Buku Satrio Piningit baru saja diluncurkan. Buku karya Djoko Su’ud Sukahar yang diterbitkan Penerbit Narasi, Jogyakarta itu cukup menggelitik. Selain memberi batasan (pakem) asal sebutan calon pemimpin masa depan itu, juga sekaligus memprediksi siapa calon presiden negeri ini mendatang. Buku ini sudah bisa dibeli di seluruh Toko Buku Gramedia.
Saban mendekati pergantian kekuasaan, nama ini selalu muncul ke permukaan. Nama itu tidak jelas menunjuk siapa dan berasal darimana. Nama ini mengembara kemana-mana, sebelum akhirnya berlabuh pada sosok tertentu yang kelak memerintah. Untuk itu Satrio Piningit tidak saja mengusung makna seseorang, tetapi juga sekaligus wacana.
Satrio Piningit adalah harapan. Dia dilukiskan sebagai sosok yang anggun, agung, moralitasnya tidak dipertanyakan, menyatu dengan rakyat, berjuang bersama rakyat dan mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat. Maka ketika terpilih menjadi pemimpin rakyat atributnya berganti menjadi Satrio Pinilih, dia juga disebut sebagai Ratu Adil. Representasi dari keadilan di jagad manusia.
Sebagai sebuah harapan, sosok Satrio Piningit bebas nilai. Tidak disoal dia dari kalangan jelata atau ningrat, dia berasal dari rakyat miskin atau kalangan kaya, juga tidak penting dia berwajah ganteng atau jelek rupa. Hanya ada empat syarat sebagai tengara dia adalah pemimpin yang bersemi di hati rakyat, yaitu moralitasnya baik, tingkah-lakunya baik, tegas, dan berani demi rakyat.
Dalam perjalanan panjang tampilan Satrio Piningit semuanya bersendi itu. Sejak Erucokro sebutan lain dari Pangeran Diponegoro, Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, dan hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tokoh-tokoh itu tampil dengan payungan hati rakyat, kendati di akhir memerintah hampir semuanya dilecehkan karena dinilai sudah tidak lagi memenuhi keinginan rakyat.
Dalam halaman-halaman berikutnya nanti akan tampak, mengapa rakyat mengidolakan tokoh-tokoh itu sebelum akhirnya berubah antipati terhadap tokoh bersangkutan. Hanya ada dua tokoh yang tetap di hati rakyat, tetap melegenda, karena tercerabut secara paksa dari kedudukannya sebagai Satrio Piningit, Satrio Pinilih, dan Ratu Adil. Dia adalah Erucokro atau Pangeran Diponegoro, dan Bung Karno.
Pangeran Diponegoro, setelah berjuang lama di Perbukitan Menoreh, sang tokoh berhasil ditangkap Belanda melalui jebakan pertemuan. Dari Semarang dibawa ke Batavia, ditahan di Manado, dibuang ke Makassar sampai akhir hidupnya. Sedang Bung Karno, melalui serangkaian rekayasa dipisahkan dengan rakyat. Sampai akhir hayatnya nama ‘Sang Putra Fajar’ ini tetap bersemi di hati rakyat. Hanya karena takut akibat ancaman pemerintah Orde Baru kala itu, maka kerinduan terhadap Bung Karno itu akhirnya mengemuka dalam kejadian-kejadian yang bersifat mistis.
Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono beda lagi. Megawati harus kalah secara menyakitkan karena kebijakannya ‘menyimpang’ dari nilai-nilai yang menjadi batasan Ratu Adil. Salahsatu unsur itu adalah tidak empatinya terhadap berbagai musibah yang terjadi di beberapa bagian negeri ini. Kedua, selalu direcoki Taufik Kiemas almarhum, sang suami, dan ketiga membalik harapan rakyat yang menginginkan Megawati Soekarnoputri tampil sebagai ibu tetapi ‘dimodifikasi’ agar keren seperti intelektual.
Megawati Soekarnoputri akhirnya dikalahkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lelaki kelahiran Pacitan ini bertahan sampai dua periode. Namun penampilannya yang tidak natural serta kesan tidak-adanya ketegasan membuat dari tahun ke tahun selama menjabat, Soesilo Bambang Yudhoyono harus berperang melawan rumor. Rumor menjatuhkannya, dan rumor berbagai kasus entah itu benar atau tidaknya.
Mengapa hanya Erucokro, Bung Karno, Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono yang diklasifikasikan sebagai cerminan Satrio Piningit di awal berkuasanya? Kenapa Pak Harto yang memerintah hingga 32 tahun di era Orde Baru, BJ Habibie, dan Gus Dur tidak masuk dalam golongan ini?
Dalam konteks ini, karena tiga tokoh itu kemunculannya tidak di-latar-belakangi ‘penyemaian’ batin rakyat. Pak Harto tampil melalui mandat Supersemar dan ‘kudeta militer’, BJ Habibie yang posisinya sebagai Wakil Presiden menggantikan Pak Harto yang mengundurkan diri, sedang Gus Dur berasal dari koalisi kekuasaan untuk bagi-bagi kuasa agar negara terselamatkan. Ini bentuk asih Gusti Allah agar situasi yang sudah chaos kala itu tidak membuat negara ini hancur dalam ‘perang saudara’.
Ketersediaan
| 861/14 | 959.8 DJO sp | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
Informasi Detil
| Judul Seri |
-
|
|---|---|
| No. Panggil |
959.8 DJO sp
|
| Penerbit | NARASI : Yogyakarta., 2013 |
| Deskripsi Fisik |
158 hlm.; 15 x 21 cm.
|
| Bahasa |
Bahasa Indonesia
|
| ISBN/ISSN |
9789791683821
|
| Klasifikasi |
950
|
| Tipe Isi |
-
|
| Tipe Media |
-
|
|---|---|
| Tipe Pembawa |
-
|
| Edisi |
-
|
| Subyek | |
| Info Detil Spesifik |
-
|
| Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain






