Detail Cantuman
Advanced SearchText
KIPRAH TOKOH KATOLIK INDONESIA
PERKIRAAN mutakhir menyebutkan bahwa 90 persen karya tulis tentang Indonesia, baik sejarah, seni, budaya, geografi, maupun para tokoh Indonesia justru ditulis oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia. Mereka sebagian besar tentunya adalah orang asing. Jika angka itu benar, maka Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia luar (Reid 2011). Situasi semacam itu tidak baik untuk Indonesia di masa mendatang.
Istilah “jasmerah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) yang diungkapkan oleh presiden pertama Indonesia Sukarno (1901-1970) dalam pidato 17 Agustus terakhirnya (1966) kini terdengar lebih benar dari sebelumnya. Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi. Adalah tugas generasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini terjadi.
Semenjak Orde Baru, tokoh-tokoh Katolik tidak pernah keliatan menonjolkan identitas mereka. Mereka bekerja tanpa bendera. Itu mungkin suatu tanda bagus. Tapi saya merekam pelayanan orang-orang Katolik yang bersumber pada ajaran Kristus ternyata sama sekali tidak padam. Mereka ada dimana-mana, sekali pun tidak berbendera.
Dunia aktivisme mempertemukan saya dengan banyak tokoh, dengan beragam profesi, dari Sumatra hingga Papua. Saya menyadari begitu banyak inspirasi yang dapat dibagikan kepada masyarakat melalui sosok-sosok hebat itu. Melalui buku sederhana ini, saya ingin mencairkan kecemasan terjadinya krisis tokoh Katolik, mengabarkan tentang luas dan bervariasinya tebaran kegiatan mereka, serta perlunya sarana bertemu, berbagi pengalaman, lebih jauh membuat komitmen dan strategi bersama.
Mereka adalah manusia-manusia dengan pemikiran, perasaan, karakter, dan kepribadian yang khas. Kentara keanekaan sosok warga Indonesia yang Katolik. Semua mereka berbeda, semua tidak memiliki kedudukan formal dalam struktur hierarki Gereja Katolik, kecuali Pater Markus Solo Kewuta, SVD dan Pater Franz Magnis-Suseno, SJ. Semua berkompetensi dan berperan prima dalam bidang-bidang yang berbeda, semua dapat kita banggakan, dan semua Katolik, hidup dan berkarya sebagai orang Katolik Indonesia.
Pekerjaan yang mereka lakukan, tanggung jawab yang mereka emban sadar atau tidak sadar, merupakan ungkapan dan perwujudan iman mereka dalam rangka melaksanakan misi Gereja Katolik yang bergerak keluar (bdk. Evangelii Gaudium). Ada banyak sabda Allah yang menunjukkan bahwa umat-Nya ditantang untuk “bergerak keluar”. Abraham dipanggil untuk pergi ke negeri baru (bdk. Kej 12:1-3). Musa mendengar panggilan Allah, “Pergilah, Aku mengutus engkau” (Kel 3:10) untuk menuntun bangsamu menuju tanah terjanji (Kel 3:17). Kepada Yeremia, Allah bersabda, “Kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi.” (Yer 1:7). Yesus memanggil para murid untuk diutus “Pergilah dan beritahukanlah: Kerajaan Allah sudah dekat” (Mat 10:7), dan lagi “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16:15).
Katolik, itu tidak berarti memilih nama, pakaian, dan pekerjaan tertentu. Orang Katolik menjadi warga masyarakat yang, bersama rekan-rekan lain, berusaha melakukan tugas panggilan mereka, tetapi dari kekuatan batin iman Kristiani Katolik. Mereka memberi inspirasi untuk menyadari bagaimana kita masing-masing, di tempat dan dalam kondisi masing-masing dapat menjadi pembawa kekuatan penyembuh dan penyelamat Injil. Tidak semua tokoh dalam buku ini populer. Saya juga memunculkan pribadi-pribadi yang selama ini bekerja dalam senyap. Mereka berkarya dengan penuh syukur, dalam diam, dan jauh dari hura-hura publikasi.
Gerak keluar itu tidak untuk menawarkan model atau sistem pembangunan tertentu. Gereja Katolik tidak manawarkan atau membangun paham atau sistem ekonomi Katolik, negara Katolik, atau paham dan model masyarakat Katolik. Karena itu, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara segenap orang Katolik yang sekaligus warga negara Indonesia dalam terang iman Katolik dan dalam rangka menjadi ragi, garam, dan terang dunia (bdk. Mat 5:13-14) berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai dengan tatanannya yang telah disepakati bersama oleh seluruh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Dengan landasan Ketuhanan Yang Maha Esa, mesti terus-menerus diusahakan terwujudnya ke-empat sila lainnya, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan bermuara pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Yang terakhir itu, yang dalam bahasa umum disebut kebaikan bersama (bonum commune) merupakan salah satu pilar terpenting dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik.
Paus Fransiskus mengajak umat Katolik agar memberikan kesaksian hidup sebagai jalan pembaruan rohani. Sebagai gembala, ia senang mengunjungi umatnya di daerah kumuh dan miskin. Secara berkala, ia merayakan Ekaristi bersama narapidana dan penderita HIV/AIDS. Hal yang sama juga ia lakukan ketika sudah menjadi Paus dengan merayakan Ekaristi Kamis Putih di penjara khusus remaja, Casal del Marmo. Ia menginginkan Gereja Katolik menjadi saksi hidup bagi dunia, yang mewartakan kabar baik bagi semua orang.
Para tokoh dalam buku ini tanpa mereka sadari telah berteologi. Teologi dalam arti refleksi ilmiah atau setidaknya rasional tentang apa yang dihayati oleh orang beriman. Dengan lain kata, teologi adalah pertanggungjawaban daya pikir, rasio, tentang yang dihayati iman. Setiap orang normal, apalagi yang beragama atau lebih sempurna lagi beriman, sadar atau tidak sadar, betul atau keliru, ilmiah atau spontan, selalu berteologi. Pada dasarnya, iman selalu menuntut pemahaman.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Direktur PT Kanisius, Mg. Sulistyorini. Ia dengan sukacita membuka pintu selebar-lebarnya bagi saya. Ia mau menghargai seseorang, meski hanya mengandalkan intuisi. Selain itu, saya memberikan penghargaan kepada Founder dan CEO MarkPlus, Inc, Hermawan Kartajaya dan Ketua Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF. Mereka telah menuliskan prolog dan epilog yang inspiratif. Terima kasih tak terhingga kepada orang-orang yang selama ini mendukung saya, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi, serta kepada semua pihak yang turut terlibat dan membantu hingga akhirnya buku ini dapat dinikmati pembaca.
Buku ini berisi 36 tokoh Katolik yang disusun seturut abjad, masih banyak tokoh Katolik yang tidak kalah hebat, baik yang tercatat, maupun yang tidak tercatat dalam buku ini. Semoga buku ini, betapa pun sederhananya, dapat memberi inspirasi kepada Anda semua untuk dengan satu dan lain cara, di tempat dan melalui profesi Anda masing-masing, menanggapi perutusan yang diberikan oleh Tuhan.
Jakarta, 12 Agustus 2015
Benny Sabdo
@bennysabdo
“Ke-katolik-an menjadi pandu dan inspirasi dalam bertindak. Tak dikatakan, tapi dilakoni. Sebagian dari mereka telah dikenal publik, sebagian dikenali di lingkungan yang lebih terbatas. Tapi, kesamaannya mudah dikenali: menghadirkan terang meretas jalan perubahan. Itulah pesan moral dari kisah para tokoh Katolik di buku ini. Membaca kisah-kisah para tokoh ini, tak pelak membumbungkan optimisme baru. Tentang kiprah warga Katolik, dan yang lebih penting lagi, tentang ke-Indonesia-an kita.”
Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika
“Setiap orang memiliki tugas panggilan masing-masing. Para tokoh dalam buku ini pun demikian dan mereka melakukannya dengan sepenuh hati. Bukan untuk diri sendiri melainkan untuk Tuhan dan sesama.”
Rosianna Silalahi
Pemimpin Redaksi KompasTV
“Penulis buku ini telah memilih model dan cara yang tepat untuk menyampaikan pesan kepada publik saat ini. Dengan menampilkan profil dan kisah para tokoh, penulis tidak hanya memperkenalkan para tokoh, tetapi juga mengetengahkan figur yang memberi kesaksian hidup. Saya yakin, dengan membaca buku ini menemukan inspirasi dan keteladanan.”
RD. Guido Suprapto
Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam KWI
“Menyebut seseorang sebagai tokoh tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ada banyak pintu masuk ke dalam sebuah refleksi mengenai ketokohan selain objektivitas, yaitu kehadiran para tokoh dalam buku ini dapat membuka wacana demokrasi ke dalam ruang publik. Dengan begitu tidak pernah ada kata final dalam sebuah penokohan, tetapi awal dari suatu upaya membangun masyarakat yang terbuka dan saling menghargai, serta mengedepankan kepentingan umum. Proficiat para tokoh dan Benny Sabdo, demi Indonesia yang lebih baik.”
DR. Puspitasari
Dosen Pascasarjana Program Studi Ketahanan Nasional UI
Ketersediaan
| 603/15 | 920 SAB k | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
| 604/15 | 920 SAB k | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
| 605/15 | 920 SAB k | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
| 606/15 | 920 SAB k | My Library (RAK UMUM) | Tersedia |
| 192/19 | 920 SAB k | My Library | Tersedia |
Informasi Detil
| Judul Seri |
-
|
|---|---|
| No. Panggil |
920 SAB k
|
| Penerbit | Kanisius : Jakarta., 2015 |
| Deskripsi Fisik |
285 hlm.; 15 x 21 cm.
|
| Bahasa |
Bahasa Indonesia
|
| ISBN/ISSN |
9789792143720
|
| Klasifikasi |
920
|
| Tipe Isi |
-
|
| Tipe Media |
-
|
|---|---|
| Tipe Pembawa |
-
|
| Edisi |
-
|
| Subyek | |
| Info Detil Spesifik |
-
|
| Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain






