Image of SENSASI SELEBRITI

Text

SENSASI SELEBRITI



Ketika membaca kisah-kisah dalam kumpulan cerpen “Sensasi Selebriti”; saya seolah diajak untuk berfenomenologi. Fenomenologi muncul sebagai bentuk ketakpuasan pada kecenderungan manusia untuk mengonstruksi (sosial) apapun yang dilihatnya; sehingga realitas tak menampakkan diri apa adanya. Konstruksi itupun tak jarang dimuati anggapan atau tafsiran sehingga realitas itu menjadi terpasung dalam bangunan benar-salah; pantas-tidak pantas; boleh-tidak boleh dan seterusnya. Dalam fenomenologi dihadirkan sebuah pendekatan deskriptif murni; bukan normatif. Pendekatan inilah yang dalam amatan saya; juga dihadirkan oleh Sirikit Syah dalam ‘Sensasi Selebriti’.rnrnSecara sederhana; fenomenologi bisa kita pahami sebagai ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon). Phainomenon adalah kata dalam bahasa Yunani yang berakar pada kata phainesthai atau’yang menampakkan diri’. Apa yang menampakkan diri? Bisa macam-macam: perasaan; benda; peristiwa; tubuh; pikiran; lembaga; dsb. Segala yang menampakkan diri itu disebut fenomen. Dalam ‘Sensasi Selebriti’; fenomen itu ada dalam 13 cerita pendek yang bertutur tentang hati seorang laki-laki; pembelaan terhadap poligami; perslingkuhan hingga potret buram kebebasan pers.rnrnBerfenomenologi; bersikap sebagai pemularnrnApa maksudnya berfenomenologi? Berfenomenologi pada dasarnya adalah ajakan untuk bersikap sebagai pemula. Pemula yang bagaimana? Pemula yang ‘tidak merasa sudah selalu melihat’ dan merasa apa yang sudah selalu terlihat memang seharusnya terlihat seperti itu. Titik pembahasan fenomenologi terletak pada persoalan ketika melihat sesuatu; kita seringkali sudah yakin dengan tafsir taken-for-granted atas apa yang terlihat; misalnya ketika melihat fenomen poligami atau perselingkuhan. Lalu; kitapun menempatkan realitas itu dalam konstruksi benar-salah; boleh-tidak boleh; pantas-tidak pantas; dst dan kehilangan esensi realitas yang sebenarnya. Pada titik inilah fenonenologi bukan mau membaca dalam konstruksi sosial melainkan mencoba membiarkan menampak asal-usul dari realitas yang menampak.rnrnBersikap sebagai pemula; berarti dengan rendah hati meragukan konstruksi yang kita buat atas suau realita. Seperti ketika saya membaca kisah berjudul: “Dia ingin dimadu”; “Hati Lelaki”; “Lelaki dari Masa Lalu”; pada kisah itu pembaca diajak untuk membaca deskripsi realita dan bukan mengonstruksi realita itu dengan label: ‘Menyeleweng’; ‘Dosa’; ‘Mengumbar Nafsu’ dan sejenisnya. Melalui deskripsi itulah pembaca diajak untuk menyadari bahwa di luar konstruksi sosial atas realita; terdapat hal yang sejatinya manusiawi. Hal yang manusiawi inilah yang jika kita renungkan kerap terpinggirkan ketika realitas tak dibiarkan menampak apa adanya. Di sinilah diperlukan kebijakan untuk bersikap sebagai pemula.rnrnMembiarkan ‘Ada’ menampakrnrnMenampaknya fenomen ini juga sempat dibahas Martin Heidegger sebagai upaya membiarkan ‘Ada’ menampak pada diri ‘Ada’ itu sendiri. Artinya; kita tak memaksakan penafsiran-penafsiran begitu saja; melainkan membuka diri; membiarkan ‘Ada’ terlihat (Sehenlassen). Pada titik ini; cara berpikir sejatinya juga dipersoalkan; karena ciri utama berpikir adalah penciutan pluralitas ‘Ada’ di antara manusia menjadi sebatas ‘Aku-bersama-diriku’. Ketika ‘Aku-tengah-Berpikir’ (Ego Cogito); maka saat itu juga ‘Aku’ memisahkan diri dari orang; benda; dan peristiwa di sekitarku dan masuk dalam orang; benda; dan peristiwa yang sebatas ada dalam pikiranku.rnrnTitik di mana ‘Aku-tengah-Berpikir’ inilah yang mesti disertai keterbukaan pada kemungkinan ‘Ada’-nya yang lain dari yang bisa kupikirkan. Kemawasan bahwa bagaimana ‘Aku-Berpikir’ tak lepas dari konstruksi yang kumiliki sebagai hasil pembelajaran di masa lalu. Dengan fenomenologi; kita diingatkan bahwa kita juga leluasa membolak-balik semua konstruksi ketertiban sehari-hari sehingga bisa kuhadirkan masa lalu yang sudah lenyap sekaligus bisa kuimajinasikan kemungkinan dari masa depan yang belum ada.rnrnPengalaman ‘Aku-Berpikir’ (The Thinking Ego) inilah yang agaknya coba dieksplorasi dalam fenomenologi kisah demi kisah di buku ‘Sensasi Selebriti’. Sirikit mengajak pembaca untuk keluar dari ‘Aku-Berpikir’ yang terbatas dan menyentuh the never neverland alias dunia yang tak kita alami sebatas konstruksi sosial; seperti tampak dalam kisah “Hadiah” dan “Perempuan Suamiku”. Di sinilah kegiatan berpikir mengikutsertakan dunia yang menampak dalam kisah tetapi dengan terlebih dulu menanggalkan materialitas konstruksi; lalu barulah memunculkan kembali penampakan realitas itu dalam ingatan serta menatanya secara leluasa dalam imajinasi kita sebagai pembaca.rnrnSecara umum; kisah-kisah dalam ‘Sensasi Selebriti’ ini bertutur mengenai peristiwa yang bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Namun; peristiwa-peristiwa itu juga yang kerapkali kemenampakkannya selalu terjerat dalam konstruksi sosial atas realita. Ketika anda membaca ‘Sensasi Selebriti’ dengan menggunakan konstruksi sosial anda; bisa jadi andapun akan terjebak untuk membenarkan-menyalahkan entah tokoh dalam cerita atau malahan penulisnya. Namun; ketika pembacaan itu dilakukan dengan berfenomenologi; maka akan ditemukan menampaknya kemungkinan yang lain dari apa yang selama ini diterima secara taken-for-granted. Baik membaca dengan konstruksi sosial ataupun berfenomenologi; keduanyapun adalah pilihan bebas pembaca; tak ada benar-salah atau mana yang lebih baik; namun pilihan andalah yang menampakkan siapa anda sebenarnya.


Ketersediaan

801/07813.01 SYA sMy Library (RAK UMUM)Tersedia

Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
813.01 SYA s
Penerbit PUSTAKA PELAJAR : Yogyakarta.,
Deskripsi Fisik
viii + 114 hlm.; 15 x 21 cm.
Bahasa
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN
9789791277389
Klasifikasi
810
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
I
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this