Image of SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT: ANALISA DAN PEMBAHASAN

Text

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT: ANALISA DAN PEMBAHASAN



Secara harfiah Sastra Jendra berasal dari kata sastra yang berarti tulis; ilmu atau kitab. Sedangkan jendra berarti milik raja atau Gusti Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra jendra dalam dunia pewayangan dikenal diajarkan oleh begawan Wisrawa dan juga diajarkan oleh Bima dalam lakon Bima Suci atau Nawaruci atau Sena Rodra juga dikenal dengan lakon Bima Paksa.rnrnrnSastra jendra ini tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang dan cara mengajarkannya harus pada tempat yang khusus; tidak boleh dihadiri oleh wanita dan bahkan tidak boleh didengar oleh seekor binatang pun (kutu-kutu; walang; ataga); karena sifatnya sangat rahasia. Orang harus mencarinya sendiri dan jika tidak waspada atau super hati-hati akan berakibat sangat fatal; kalau manusia yang mendengarkan dapat menjadi raksasa dan bersifat sangat angkara murka; kalau binatang yang mendengar dan mengerti sastra jendra dapat berinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan yang akan datang.rnrnKetika Batara Guru mendengar bahwa Begawan Wisrawa akan mengajarkan dan menyebarluaskan Ilmu Sastra Jendra Layuningrat itu dan mengingat sifat kerahasiaannya itu; Batara Guru sangat marah dan segera mengeluarkan surat kuasa/surat perjalanan ke Areapada kepada isterinya; Betari Durga. Tugas utama Betari Durga adalah untuk menyusup (manjing) keraga Dewi Sukesi untuk menggagalkan rencana Wisrawa sehingga Resi Wisrawa runtuh imannya sewaktu melihat kecantikan Dewi Sukesi justru calon menantunya sehingga ia berbalik haluan sangat Kasmaran dan mengawininya sendiri. Dengan tidak tahu malu Resi Wisrawa melampiaskan nafsu angkara dan birahinya yang berakibat Dewi Sukesi hanggarbini (hamil). Di kemudian hari lahirlah anak-anaknya yaitu Rahwana; Kumbakarna; Sarpakanaka dan si bungsu rupawan Gunawan Wibisana.rnrnYang menjadi tanda tanya mengapa Batara Guru dan para dewa mengajarkan dan menyebarluaskan ilmu sastra jendra itu. Hal ini karena para dewa takut kalau ada manusia dan binatang tahu dan memahami ilmu tersebut dikhawatirkan tidak akan mempercayai dan mengakui lagi dewa-dewa tersebut. Para dewa dalam sidang paripurna secara bulat sepakat untuk merintangi dan melarang usaha penyebarluasan ilmu sastra jendra tersebut.rnrnDari uraian tersebut tersirat makna bahwa terdapat suatu usaha melalui wayang untuk menolak ajaran atau ilmu lain kecuali ilmu yang diajarkan oleh dewa-dewa. Menurut para ahli Barat ada yang berpendapat bahwa sastra jendra itu adalah Al Quran dan Injil atau kitab suci dari agama atau kepercayaan lain.rnrnSementara orang beranggapan bahwa Resi Wisrawa sebenarnya belum menguasai betul tilmu Sastra Jendra itu. Tingkatannya masih dalam perjalanan atau proses dalam meraih ilmu sehingga dalam kenyataannya ia tergelincir dalam nafsu yang dilambangkan dengan Dewi Sukesi. Konon syarat utama yang mutlak harus ditempuh bagi manusia yang ingin mencapai ilmu sastra jendra harus mampu menahan diri; atau mampu mengendalikan hawa nafsu; yaitu haru mampu menahan atau menyingkirkan nafsu angkata; nafsu perut; dan nafsu kelamin (cegah dahar lan guling) dengan jalan berpuasa.rnrnNafsu angkara dalam pewayangan dilambangkan dengan Raksasa; sedangkan nafsu guling dilambangkan dengan wanita. Resi Wisrawa pada waktu itu baru berhasil menyingkirkan nafsu perut (aluamah) dan nafsu amarah yang dilambangkan bahwa Resi Wisrawa berhasil membunuh secara sadis dan memotong-motong badan Raksasa Jambumangil; yaitu saudara misan Dewi Sukesi. Karena tindakan Resi Wisrawa itu maka hukum karma menimpa anaknya Kumbakarna. Kematian Kumbakarna dalam keadaan mengenaskan/mengerikan dalam perang Kera dan Ceritera Ramayana. Kematiannya dimulai dari telinga putus; tangan putus; kaki satu-persatu putus dan akhirnya lehernya terpisah dari badannya (gembung). Ini hukum karma tetapi sekaligus melambangkan keberhasilan Resi Wisrawa dalam menumpas/membunuh nafsu angkaranya; biarpun akhirnya ia tergelincir dalam nafsu kelamin dan dalam lembah kenistaan (ia melahirkan Rahwana atau Dasamuka yang melambangkan sepuluh nafsu angkara berasal dari lima nafsu Wusrawa dan lima Sukesi; yaitu amarah; mutmainah; supiah; aluaman dah mulhimah.rnrnSastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menurut para ahli tidak pernah dimuat dalam Kepusatakaan Jawa Kuna; tetapi dikenal pada abad IXI (1820) pada karya Kiyai Yasadipura dan Kiyai Sindusastra dalam Lakon Arjuna Wijaya atau Lokapala (dikutip dalam Kitab Arjuna Wijaya) dalam pupuh Sinom yang menyatakan:rnrnKejawi saking punika ngungun kawula dene ta boten kadasa putra tuan nini putri; sinten ta sing marahi. Penedahanira pinku. Sastra Jendra Yu ningrat menangka wadining bumi pan sinengker dening hyang Jagat Pratingkah.rnTan kening singa ngucapa siniku ing bataradi senagyan para pandita; kang samya mandireng wukir awis ingkang ngarawuhi yen dede pandita pinunjul; kuala matur prasaja mring paduka yayi aji; kang tineda ing nini punika.rnrnSastra Jendra Yu Ningrat; pangruwating barang sakalir ingkang kawruh tan wonten malih wus kawengku sastradi pungkas pungkasaning kawruh ditya diyu rakseksa myong sato siningwanadri lamun weruh artine kang Sastra Jendra. Rinuwai dening Batara sampurna patine reki atmane wor lan manungsa; manungsa kang wis linuwih yen manungsa udani; wong lan dewa patinipun jawata kang minulya.


Ketersediaan

332/11181.198 SOE sMy Library (KOLEKSI UMUM)Tersedia

Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
181.198 SOE s
Penerbit LEMBAGA JAVANOLOGI : SURABAYA.,
Deskripsi Fisik
192 hlm.; il.; 15 x 20 cm.
Bahasa
ISBN/ISSN
9786029705744
Klasifikasi
180
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this