Image of MAUT DI UDARA

Text

MAUT DI UDARA



Buku
Diannova
Noor
A.
A

penyuka film, teknologi informasi, novel sastra, thriller, kriminal.
Jadikan Teman | Kirim Pesan
0inShare
Agatha Christie-Maut di Udara, Sebuah Karya Sombong dari Ratu Cerita Kriminal
REP | 08 February 2012 | 12:10 Dibaca: 2253 Komentar: 4 0

1328702981853208576Satu hari. Seusai mengkhatamkan salah satu episode dari novel serial Perry Mason dan Sherlock Holmes, perasaan saya seperti dilanda kehausan yang amat sangat akan bacaan-bacaan novel kriminal dari masa lalu. Kekhasan mereka dalam memecahkan kasus melalui teknik analisis induksi sangat berkesan dalam. Betapa sesuatu yang begitu misterius akan dapat terpecahkan begitu mudahnya dengan mengetahui seluruh petunjuknya. Sesuatu yang rumit seringkali terlihat begitu sederhana, namun terkadang kebalikannya. Sesuatu yang kelihatan begitu sederhana dapat saja merupakan kasus paling rumit yang pernah mereka hadapi.

Demikianlah akhirnya rasa haus tersebut membawa saya mencari tahu macam-macam novel serial dimasa lalu yang mengangkat tema-tema kriminal, kisah-kisah detektif, dan misteri. Lama sebelum saya berkesempatan membaca sepak terjang Perry Mason, seorang advokat hukum idealis karangan Elle Stanley Gardner, saya jauh lebih mengenal tokoh detektif nyentrik Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle, meski tanpa sekalipun pernah membaca novel-novelnya. Namun dalam pencarian tersebut saya justru tidak mengarah kepada keduanya. Dari berbagai sumber, saya dibawa oleh rasa penasaran kepada satu tokoh detektif lain yang konon merupakan karakter detektif paling terkenal kedua di dunia setelah Sherlock Holmes. Dialah Hercule Poirot karangan Agatha Christie. Detektif Belgia si penyuka kerapian dan coklat panas. Begitu khas Belgia.

Konon berdasarkan berbagai referensi yang saya baca, karangan-karangan Agatha Christie menawarkan sesuatu yang berbeda daripada novel-novel kriminal pada masanya. Pada masanya, di jaman keemasan serial detektif dan kriminal, kebanyakan tokoh begitu mengandalkan yang namanya teknik analisis induksi dalam menyelesaikan suatu kasus. Petunjuk-petunjuk berupa fakta dan tanda-tanda nyata itu dicari, saling disimpulkan, hingga kemudian dibentuklah suatu hipotesis, yang lalu diakhiri dengan pembuktian. Tidak demikian pada Poirot. Agatha seolah menggugat teknik analisis yang biasa digunakan Conan Doyle dengan tokohnya Sherlock Holmes. Betapa seringkali disebutkan oleh Poirot bahwa teknik-teknik mencari petunjuk fisik serta teknik-teknik penyamaran sudah sedemikian kuno. Agatha dengan Poirot lebih mendasarkan petunjuknya kepada reaksi psikologis karakter-karakternya.

Hercule Poirot diciptakan oleh Agatha Christie pada masa akhir Perang Dunia Pertama. Cerita-cerita Poirot bersetting pada masa yang sama. Berselang antara tahun 1920 sampai 1975. Muncul pertama kali dalam “Tragedi di Styles”. Ia merupakan seorang detektif partikelir yang membuka usahanya di Inggris pasca Perang Dunia Pertama. Dulunya sebelum pindah ke Inggris, ia sempat berdinas militer di Belgia. Poirot dapat dikenali lewat kumis uniknya yang dirawat rapi, tebal, dan mengerucut pada ujung-ujungnya. Wajah berbentuk telur, tubuhnya pendek, dan agak gemuk. Menyukai coklat panas, serta mengkonsumsi rutin obat tidur. Terakhir, ia memiliki obsesi yang unik akan kerapian dan simetri.

Tak lama kemudian, merujuk pada informasi tadi saya membeli novelnya. Buku ini saya peroleh seharga sepuluh ribu rupiah di kios buku-buku bekas di Semarang. Dua kali lipat lebih mahal dari novel Perry Mason yang saya beli di Salatiga seharga lima ribu rupiah. Namun tidak jadi masalah selama itu berada pada rasio wajar harga barangnya menurut saya. Selama kiranya harga tersebut masih sangat jauh dari harga cetakannya yang baru. Karena sepertinya memang pihak penerbit masih menelurkan cetakan baru atas novel-novel Agatha Christie ini. Setelah melihat tidak adanya cacat fisik yang begitu berarti sehingga tidak mengurangi kenyamanan membaca, akhirnya saya beli novel seri tersebut sebanyak tiga buah buku. Kesemuanya merupakan serial Hercule Poirot. Satunya berjudul “Maut di Udara”, kemudian “Saksi Bisu”, serta “Tirai” yang ternyata merupakan novel terakhir seri Hercule Poirot.

Mulailah saya membaca. Dan pertama kali saya baca adalah “Maut di Udara”. Beruntunglah karena saya berada pada kronologi penulisan yang tepat atas novel-novel ini ketika akhirnya saya tahu berberapa nama tokoh pada novel ini disebut-sebut pada novel-novel selanjutnya yang saya beli.

Novel ini menceritakan tentang terjadinya satu pembunuhan atas seorang wanita tua kaya raya dengan nama samaran Madame Giselle. Ia merupakan salah seorang yang berprofesi sebagai rentenir kelas kakap di Prancis, dimana klien-kliennya tidak jarang merupakan jajaran orang-orang dengan status sosial yang tinggi, para artis, birokrat, politikus, juga para usahawan. Pembunuhan yang sangat aneh dan sebenarnya sangat nyaris tidak mungkin terjadi. Karena pembunuhannya sendiri terjadi diatas sebuah pesawat. Alih-alih diracun sebagaimana biasa, bukti-bukti yang ada justru menunjukkan bahwa pembunuhan yang ada menggunakan teknik yang terlampau tradisional. Sangat kecil kemungkinannya untuk berhasil.

Saat penerbangan tersebut hanya terdapat 11 orang di dalam kompartemen eksekutif dimana korban dibunuh. Kesebelas orang itu termasuk Madame Giselle dan Poirot, yang sepanjang perjalanan hanya tertidur untuk menghindari kebiasaannya mabuk kendaraan. Tak ayal terjadinya pembunuhan ini begitu luput dari perhatian Poirot. Selain itu tidak ada orang lain yang keluar masuk kecuali beberapa penumpang kompartemen sendiri serta dua orang pramugara pesawat. Demikian begitu jelas tidak ada orang lain yang dapat dijadikan tersangka kasus ini selain ke-11 orang tersebut. Namun yang menyulitkan adalah alibi para-penumpang maupun pramugara yang begitu sempurna. Alat bukti kejahatan yang begitu jelas berupa sebuah sumpit, tawon, serta sebuah jarum yang sebelumnya telah dilumuri racun bukannya mengarahkan penyelidikan kepada si pelaku, namun malah membuat kemungkinannya semakin sulit. Kecuali hal itu hanya pengalih, dan bukan merupakan teknik membunuh yang sebenarnya digunakan. Maka akan ada penjelasan yang masuk akal untuk itu semua.

Dalam menyelidiki kasusnya, Poirot selalu berpegang teguh pada prinsip yang ia percayai. Ada motif dibalik seluruh kejahatan yang dilakukan. Akan ada yang diuntungkan atas suatu pembunuhan. Dari sanalah ia memulai penyelidikannya. Ia melihat efek jangka pendek atas pembunuhan ini bagi para penumpang lainnya. Bagaimanapun kasus ini tidak lepas dari ekspose media dari 2 negara yakni Inggris, sebagai negara tujuan perjalanan, dan Prancis, negara asal korban. Para penumpang banyak dimintai keterangan oleh para wartawan sehubungan dengan kejadian itu. Beberapa diberitakan dan membuat efek yang berbeda kepada masing-masing mereka. Selain daripada itu Poirot tetap mendasarkan teorinya atas dugaannya mengenai keberadaan serta bentuk barang bukti yang sesungguhnya juga mencari latar belakang korban dan seluruh penumpang sebagai data pendukung.

Sampai sejauh ini tidak ada masalah. Sedikit saja terdapat beberapa gaya bercerita yang sumbang menurut saya, diluar kebiasaan. Disana Agatha menuliskan apa-apa yang ada dalam pikiran masing-masing penumpang saat berada dalam pesawat. Mereka diceritakan berbicara dalam hati. Yang menurut saya hal ini efektif untuk pengenalan karakter seandainya menggunakan kata-kata serta maksud yang jelas dan berkaitan dengan karakterisasi tokohnya. Namun kenyataannya tidak. Begitu sumbang. Seperti hanya untuk menambah-nambah ketebalan bukunya. Saya rasa penggambaran situasi saja sudah cukup tanpa harus membuat para tokohnya berbicara dalam hati. Awalnya saya mengira memang demikian gaya bercerita Agatha, ternyata sebaliknya. Dalam bab-bab berikutnya tidaklah demikian.

Selain itu adalah kebiasaan saya mengikuti cerita-cerita kriminal macam ini dengan ikut berpartisipasi, mencoba mengira-ngira siapa pelakunya melalui bukti-bukti yang didapat. Memang agak sulit disini mengingat gambaran manifestasi kejiwaan lebih sulit diimajinasikan. Perilaku para tersangka sering dianggap tidak mencurigakan, terlalu biasa. Terlewat begitu saja. Padahal bisa jadi merupakan petunjuk kuat dari kasus tersebut. Namun yang sangat mengecewakan saya karena sepertinya Agatha menolak pembacanya untuk berpartisipasi merangkai penyelesaian kasusnya.

Memang selama ini kita tahu tanpa kita baca pun para penulis selalu memberikan penyelesaian atas karyanya. Namun berbeda pada novel ini, seolah Agatha enggan mengikutsertakan pembaca. Ia memilih menyelesaikan sendiri kasusnya dan tidak memberikan ruang partisipasi bagi pembaca untuk ikut berfikir, menduga-duga siapa pelakunya. Hal ini ditunjukkan pada saat Hercule Poirot mengumpulkan para penumpang pesawat dan menjelaskan hipotesisnya. Disinilah ternyata Agatha menyembunyikan nama belakang si pembunuh yang asli, padahal menurut saya itu merupakan satu informasi yang cukup penting untuk dikemukakan. Setidaknya apabila nama itu memang enggan disebut maka seharusnya Agatha memberikan sedikit petunjuknya kearah sana. Namun kenyataannya sama sekali tidak. Agatha terlalu sombong, dengan membuat dirinya menjadi penentu tunggal penyelesaian kasus ini.

Sekiranya Agatha bermaksud membuat ending yang tidak terduga. Maka ini cara yang tidak fair menurut saya. Dimana proses pencarian informasi ini sama sekali tidak diceritakan. Tidak ada porsi seimbang yang mengarahkan kita kepada orang-orang yang memiliki kemungkinan sebagai tersangka. Agatha sengaja mengiring para pembaca kepada tokoh yang salah untuk dituduh. Nyaris tidak ada ruang untuk mengira-ngira apabila kita tidak disadarkan dengan hipotesisnya.


Ketersediaan

Tidak ada salinan data


Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
F CHR mu
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.,
Deskripsi Fisik
260 hlm.; 13 x 19 cm.
Bahasa
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN
9794030716
Klasifikasi
F
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this